PIMA

Tantangan Dan Strategi Indonesia Dalam Melindungi Sumber Daya Laut

TANTANGAN DAN STRATEGI INDONESIA DALAM MELINDUNGI SUMBER DAYA LAUT Oleh : Dr. Helex Wirawan, S.E., S.H.,M.H. Abstrak Pencurian ikan atau illegal, unreported, and unregulated (IUU) fishing di perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia telah menjadi ancaman serius bagi keberlanjutan sumber daya laut dan kedaulatan negara. Jurnal ini membahas tantangan yang dihadapi Indonesia dalam menanggulangi IUU fishing, serta langkah-langkah penegakan hukum yang telah diambil. Penelitian ini juga mengevaluasi efektivitas kebijakan dan operasi di lapangan, serta memberikan rekomendasi untuk penguatan strategi dalam menjaga kedaulatan dan melindungi sumber daya laut di ZEE. Kata Kunci: Pencurian Ikan, Zona Ekonomi Eksklusif, Penegakan Hukum, Sumber Daya Laut, Kedaulatan Maritim, IUU Fishing I. PENDAHULUAN Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) merupakan wilayah maritim yang penting bagi Indonesia, mengingat kekayaan sumber daya alam yang dimilikinya. Namun, IUU fishing oleh kapal asing menjadi ancaman yang menggerus potensi ekonomi dan merusak ekosistem laut. Pemerintah Indonesia telah mengadopsi berbagai kebijakan dan strategi untuk menanggulangi masalah ini, namun tantangan dalam penegakan hukum masih besar. Jurnal ini bertujuan untuk mengkaji isu pencurian ikan di ZEE Indonesia dan mengevaluasi langkah-langkah penegakan hukum yang telah diimplementasikan. IUU fishing tidak hanya menjadi masalah bagi negara-negara pantai tetapi juga menjadi perhatian global karena dampaknya terhadap keberlanjutan sumber daya perikanan dunia. UNCLOS sebagai dasar hukum internasional mengatur bahwa negara pantai memiliki hak untuk mengeksploitasi dan mengelola sumber daya perikanan di ZEE mereka, serta kewajiban untuk memastikan bahwa penangkapan ikan dilakukan secara berkelanjutan. Untuk menanggulangi IUU fishing, berbagai instrumen hukum internasional telah diadopsi, oleh Indonesia, termasuk: Agreement to Promote Compliance with International Conservation and Management Measures by Fishing Vessels on the High Seas (1993) yang dikenal sebagai “Compliance Agreement.” United Nations Fish Stocks Agreement (UNFSA) (1995) yang memberikan panduan untuk konservasi dan pengelolaan stok ikan yang bergerak di luar ZEE. Port State Measures Agreement (PSMA) (2009) yang bertujuan mencegah kapal yang terlibat dalam IUU fishing menggunakan pelabuhan-pelabuhan untuk mengakses pasar global. Selain itu, organisasi regional seperti Regional Fisheries Management Organizations (RFMOs) memainkan peran penting dalam pengawasan dan pengelolaan perikanan lintas batas. Negara-negara anggota wajib mematuhi aturan dan kebijakan yang ditetapkan oleh RFMOs, termasuk langkah-langkah untuk mengatasi IUU fishing. IUU fishing dalam konteks hukum internasional bukan hanya melanggar kedaulatan negara pantai, tetapi juga merusak upaya global untuk menjaga keberlanjutan perikanan dan ekosistem laut. Oleh karena itu, kerjasama internasional dan penegakan hukum yang efektif sangat diperlukan untuk melawan ancaman ini. Indonesia, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki 17.508 pulau  dengan garis pantai yang sangat panjang diperkirakan 54.715 kilometer dan luasnya Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 6,2 juta kilometer persegi, menghadapi tantangan besar dalam melindungi sumber daya maritimnya dari ancaman illegal, unreported, and unregulated (IUU) fishing. Untuk menangani tantangan ini, Indonesia telah mengadopsi berbagai kebijakan dan regulasi yang dirancang untuk melindungi ZEE dan menjaga keberlanjutan sumber daya lautnya. Berikut ini adalah tinjauan terhadap kebijakan dan regulasi utama yang diadopsi oleh Indonesia: 1. Undang-Undang Perikanan : Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009, menjadi dasar hukum utama dalam pengelolaan perikanan di Indonesia. UU ini menetapkan ketentuan mengenai: – Pengelolaan dan konservasi sumber daya ikan. – Izin penangkapan ikan dan operasi kapal perikanan. – Pengawasan dan penegakan hukum dalam kegiatan perikanan. – Sanksi bagi pelanggaran, termasuk kegiatan IUU fishing di wilayah perairan Indonesia dan ZEE. 2. Kebijakan “Poros Maritim Dunia” Di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo, Indonesia mengadopsi kebijakan “Poros Maritim Dunia,” yang bertujuan menjadikan Indonesia sebagai kekuatan maritim yang tangguh dan berpengaruh secara global. Salah satu pilar utama dari kebijakan ini adalah perlindungan kedaulatan maritim Indonesia, termasuk upaya serius dalam melawan IUU fishing. Melalui kebijakan ini, Indonesia berkomitmen untuk memperkuat pengawasan, meningkatkan armada patroli, dan memperkuat hukum maritim. 3. Pembentukan Satgas 115 Pada tahun 2015, Presiden Joko Widodo membentuk “Satuan Tugas Pemberantasan Penangkapan Ikan Secara Ilegal” (Satgas 115) yang dipimpin oleh Menteri Kelautan dan Perikanan. Satgas ini memiliki tugas untuk mengoordinasikan berbagai instansi pemerintah dalam upaya melawan IUU fish`ing. Tindakan yang dilakukan oleh Satgas 115 mencakup: penegakan Hukum yang tegas, Peningkatan Operasi Pengawasan,  Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan dan Kerjasama Regional dan Internasional, Penggunaan Teknologi dan Pengawasan Maritim, Pendidikan dan Kesadaran Publik Indonesia, dengan wilayah maritim seluas 6,9 juta kilometer persegi  dan kaya akan sumber daya laut, telah menjadi target bagi pelaku illegal, unreported, and unregulated (IUU) fishing, terutama oleh kapal-kapal asing. Kasus-kasus IUU fishing yang terjadi di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia tidak hanya merugikan ekonomi negara, tetapi juga mengancam keberlanjutan ekosistem laut. II. METODOLOGI Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Data diperoleh melalui analisis dokumen kebijakan, laporan resmi dari instansi terkait, serta wawancara dengan para ahli dan praktisi di bidang kelautan dan perikanan. Analisis dilakukan untuk mengevaluasi efektivitas penegakan hukum dan mengidentifikasi tantangan yang dihadapi. III. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Kebijakan dan Strategi Penegakan Hukum Indonesia, sebagai negara maritim dengan wilayah perairan yang sangat luas, telah menghadapi tantangan besar dalam memberantas illegal, unreported, and unregulated (IUU) fishing. Untuk itu, pemerintah Indonesia telah menerapkan berbagai kebijakan dan strategi penegakan hukum yang dirancang untuk melindungi sumber daya perikanan dan menjaga kedaulatan maritimnya. Salah satu komponen kunci dari upaya ini adalah pembentukan Satuan Tugas Pemberantasan Penangkapan Ikan Secara Ilegal (Satgas 115). Hingga tahun 2020 telah lebih dari 500 kapal asing telah ditenggelamkan sebegai bagian dari kebajakan ini. Melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56 Tahun 2014, Indonesia memberlakukan moratorium terhadap izin operasi kapal-kapal eks-asing di perairan Indonesia. Langkah ini diambil untuk memastikan bahwa kapal-kapal yang sebelumnya beroperasi secara ilegal tidak dapat kembali beroperasi dengan izin baru. Dalam rangka penguatan kerjasama Internasional, Indonesia juga berperan aktif dalam berbagai forum internasional untuk melawan IUU fishing, termasuk melalui ratifikasi Port State Measures Agreement (PSMA) dan partisipasi dalam Regional Fisheries Management Organizations (RFMOs. Kerjasama ini bertujuan untuk mencegah kapal-kapal yang terlibat dalam IUU fishing dari menggunakan pelabuhan-pelabuhan di Indonesia atau negara lain untuk menjual hasil tangkapannya. Satgas 115 dibentuk oleh Presiden Joko Widodo pada tahun 2015, dengan tugas khusus untuk mengoordinasikan berbagai instansi dalam memberantas IUU fishing. Satgas ini dipimpin oleh Menteri Kelautan dan Perikanan dan melibatkan berbagai lembaga, termasuk TNI Angkatan Laut, Kepolisian,

Ketidakpastian Hukum Akibat Tumpang Tindih Peraturan Kelautan di Indonesia

KETIDAKPASTIAN HUKUM AKIBAT TUMPANG TINDIH PERATURAN KELAUTAN DI INDONESIA OLEH : DR. HELEX WIRAWAN, S.E., S.H.,M.H. 1. Pendahuluan       Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan lebih dari 17.000 pulau dan memiliki potensi sumber daya laut yang sangat besar. Sektor perikanan memainkan peran penting dalam perekonomian nasional, baik sebagai sumber pendapatan negara, penciptaan lapangan kerja, maupun sebagai penyedia kebutuhan protein bagi masyarakat. Namun, potensi besar ini juga membawa tantangan yang signifikan dalam hal pengelolaan dan pelestarian sumber daya laut.      Dalam upaya mengatur dan mengelola sumber daya perikanan, Indonesia telah memberlakukan berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan kelautan dan perikanan. Namun, tumpang tindih peraturan di sektor ini telah menjadi isu yang signifikan dan mengancam kepastian hukum serta efektivitas pengelolaan sumber daya laut.      Tumpang tindih peraturan perundang-undangan terjadi ketika dua atau lebih peraturan mengatur hal yang sama dengan cara yang berbeda atau ketika terdapat konflik kewenangan antara berbagai lembaga pemerintahan. Contoh nyata dari tumpang tindih ini bisa dilihat antara Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, serta peraturan lainnya yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya perikanan. Ketidakjelasan ini menyebabkan kebingungan di kalangan masyarakat, pelaku usaha, serta aparat penegak hukum dalam menentukan peraturan mana yang harus diikuti.      Kepastian hukum, yang seharusnya menjadi prinsip dasar dalam setiap sistem hukum, menjadi terganggu oleh adanya tumpang tindih ini. Ketidakpastian hukum berdampak pada lemahnya penegakan hukum, rendahnya efektivitas regulasi, dan bahkan menimbulkan konflik kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah. Akibatnya, tidak hanya proses pengelolaan sumber daya laut yang terganggu, tetapi juga kepercayaan investor dan pelaku usaha dalam mengembangkan bisnis di sektor perikanan menjadi tergerus.      Lebih lanjut, pengelolaan yang tidak efektif ini mengakibatkan eksploitasi sumber daya laut yang tidak terkendali, yang pada gilirannya merusak ekosistem laut dan mengancam keberlanjutan sektor perikanan itu sendiri. Sumber daya ikan yang seharusnya dikelola secara berkelanjutan justru terancam mengalami degradasi yang serius akibat lemahnya koordinasi antar lembaga pemerintah dan inkonsistensi dalam penerapan peraturan.      Latar belakang masalah ini menggarisbawahi pentingnya penelitian yang mendalam mengenai implikasi tumpang tindih peraturan perundang-undangan di sektor perikanan terhadap kepastian hukum dan efektivitas pengelolaan sumber daya laut di Indonesia. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi upaya reformasi regulasi di sektor kelautan dan perikanan, serta memperkuat dasar hukum yang mendukung pengelolaan sumber daya laut yang berkelanjutan dan berkeadilan.      Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, terdapat beberapa permasalahan utama yang menjadi fokus dalam penelitian ini. Rumusan masalah dalam tulisan ini adalah sebagai berikut: Bagaimana bentuk tumpang tindih peraturan perundang-undangan disektor perikanan di Indonesia? Apa saja faktor penyebab terjadinya tumpang tindih peraturan perundang-undangan di sektor perikanan? Bagaimana dampak tumpang tindih peraturan perundang-undangan terhadap kepastian hukum di sektor perikanan? Bagaimana tumpang tindih peraturan perundang-undangan mempengaruhi efektivitas pengelolaan sumber daya laut di Indonesia? Apa rekomendasi kebijakan yang dapat diberikan untuk mengatasi tumpang tindih peraturan perundang-undangan di sektor perikanan?           Rumusan masalah ini akan menjadi panduan penulis untuk mengeksplorasi dan menjawab isu-isu kunci yang terkait dengan tumpang tindih peraturan perundang-undangan di sektor perikanan, serta memberikan kontribusi terhadap perbaikan kebijakan dan regulasi di bidang ini.      Kepastian hukum adalah prinsip dasar yang harus dipenuhi oleh setiap sistem hukum agar aturan yang berlaku dapat diikuti dan dipahami oleh masyarakat. Aplikasi dari teori ini adalah untuk mengevaluasi sejauh mana tumpang tindih peraturan di sektor perikanan mengganggu kepastian hukum, serta bagaimana hal ini mempengaruhi pelaku usaha dan pengelolaan sumber daya laut.     Dalam konteks perikanan, hukum yang tumpang tindih dapat mempengaruhi pembangunan sektor perikanan yang berkelanjutan. Ketidakpastian hukum akibat tumpang tindih regulasi dapat berdampak pada perkembangan sektor perikanan dan pengelolaan sumber daya laut di Indonesia, serta menghambat pencapaian tujuan pembangunan.     Ketika regulasi saling tumpang tindih, efektivitas pengaturan bisa terganggu. Aplikasi: Teori ini dapat digunakan untuk menganalisis kelemahan dalam desain regulasi di sektor perikanan dan memberikan rekomendasi untuk reformasi regulasi yang lebih efektif dan harmonis.      Kepastian hukum adalah prinsip di mana hukum yang berlaku harus jelas, pasti, dan tidak menimbulkan ambiguitas sehingga dapat diprediksi oleh masyarakat dan pelaku usaha. Kepastian hukum sangat penting untuk menciptakan stabilitas dan kepercayaan dalam sistem hukum. Ketika peraturan di sektor kelautan saling tumpang tindih, hal ini menciptakan ketidakjelasan dan kebingungan mengenai aturan mana yang harus diikuti. Misalnya, perbedaan kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah dalam pengelolaan sumber daya laut bisa menyebabkan kebingungan bagi pelaku usaha dalam mendapatkan izin atau mematuhi peraturan yang berlaku.      Tumpang tindih peraturan menciptakan konflik antar-regulasi, di mana dua atau lebih peraturan mengatur hal yang sama dengan cara yang berbeda. Contoh klasik adalah konflik antara Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah terkait kewenangan pengelolaan laut. Konflik antar-regulasi ini sering kali menyebabkan ketidakpastian dalam penegakan hukum, di mana aparat penegak hukum dan pengawas bisa memiliki interpretasi yang berbeda terhadap peraturan yang ada. Ini berakibat pada penerapan hukum yang inkonsisten dan tidak dapat diprediksi.      Kepastian hukum adalah faktor kunci dalam menarik investasi, terutama di sektor yang memerlukan komitmen jangka panjang seperti kelautan dan perikanan. Tumpang tindih peraturan mengurangi kepercayaan investor karena mereka khawatir akan menghadapi ketidakpastian dalam perizinan, pelaksanaan proyek, dan perlindungan hukum. Investasi di sektor kelautan menjadi lebih berisiko jika ada ketidakpastian hukum. Investor dapat menghadapi hambatan birokrasi yang kompleks, perubahan peraturan yang tidak terduga, dan potensi sengketa hukum yang berlarut-larut karena adanya tumpang tindih peraturan. Tumpang tindih peraturan mengakibatkan inkonsistensi dalam pengawasan. Misalnya, perbedaan pandangan antara pemerintah pusat dan daerah atau antara lembaga yang berbeda dapat menghambat penegakan hukum di lapangan. Akibatnya, pelanggaran hukum seperti illegal fishing, pencemaran laut, atau eksploitasi sumber daya laut tidak ditangani secara efektif. Ketidakpastian hukum juga memengaruhi penerapan sanksi. Jika peraturan yang diterapkan tumpang tindih, maka pelanggar dapat memanfaatkan celah hukum untuk menghindari atau memperpanjang proses hukum, sehingga penegakan hukum menjadi tidak efektif.      Tumpang tindih peraturan menambah kerumitan dalam proses birokrasi, di mana pelaksanaan suatu kebijakan atau program harus melewati berbagai prosedur dan persyaratan yang berbeda-beda. Hal ini menghambat efisiensi pemerintahan dalam menjalankan fungsinya di sektor kelautan. Ketika peraturan dari berbagai lembaga tumpang tindih, koordinasi antar lembaga pemerintah sering kali menjadi tidak efektif. Hal