HUT KE 79 PUSPOMAL mengadakan Fun Bike dan Fun Walk yang diikuti oleh 1.500 peserta

https://pima.or.id/wp-content/uploads/2025/02/HUT_79_PUSPOMAL.mp4 HUT KE 79 PUSPOMAL – PIMA INDONESIA Mengadakan Fun Bike dan Fun Walk yang diikuti oleh 1.500 peserta dari berbagai wilayah jakarta pada tgl 9 februari 2025.Dalam kegiatan ini juga diserahkan plakat PIMA kepada Komandan Pusat Polisi Militer Angkatan Laut (Danpuspomal) Laksamana Muda TNI Samista, S.H. #pima#pimaindonesia #pimajayaselalu
Makan malam bersama Keluarga besar PIMA Indonesia menjelang hari raya Imlek

https://pima.or.id/wp-content/uploads/2025/02/WhatsApp%20Video%202025-02-11%20at%2016.44.55.mp4 Makan malam bersama Keluarga besar PIMA Indonesia menjelang hari raya Imlek Tgl 27 januari 2025, Dalam rangka silaturahmi, sosialisasi program kerja dan hasil pelaksanaan kegiatan selama tahun 2024 pengurus DPP PIMA kepada Dewan, DPW dan anggota resmi PIMA. Dan acara ini juga dilakukan pelantikan ketua DPW Kepulauan Riau bpk Hermawan. #pima #pimaindonesia #pimajayaselalu
PIMA INDONESIA IKUT MERAYAKAN HUT TNI AL KE 79

PERS RILIS HUT TNI AL KE 79 PIMA INDONESIA turut serta mengikuti parade kapal KRI dan kapal Nelayan. Pada tgl 10 Sept 2024 PIMA Indonesia ikut meramaikan parade kapal KRI Banda Aceh dengan mengirim 250 orang pengurus PIMA dan masyarakat maritim. Mengirim 21 kapal nelayan untuk ikut serta berparade dalam kegiatan ini. Acara ini merupakan pertama kali HUT TNI AL di adakan di atas kapal KRI dr. Radjiman Wedyodiningrat yg dipimpin panglima TNI Jenderal TNI H. Agus Subiyanto, S.E., M.Si Sebanyak 33 kapal KRI yg ikut dalam parade ini.
Tantangan Dan Strategi Indonesia Dalam Melindungi Sumber Daya Laut

TANTANGAN DAN STRATEGI INDONESIA DALAM MELINDUNGI SUMBER DAYA LAUT Oleh : Dr. Helex Wirawan, S.E., S.H.,M.H. Abstrak Pencurian ikan atau illegal, unreported, and unregulated (IUU) fishing di perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia telah menjadi ancaman serius bagi keberlanjutan sumber daya laut dan kedaulatan negara. Jurnal ini membahas tantangan yang dihadapi Indonesia dalam menanggulangi IUU fishing, serta langkah-langkah penegakan hukum yang telah diambil. Penelitian ini juga mengevaluasi efektivitas kebijakan dan operasi di lapangan, serta memberikan rekomendasi untuk penguatan strategi dalam menjaga kedaulatan dan melindungi sumber daya laut di ZEE. Kata Kunci: Pencurian Ikan, Zona Ekonomi Eksklusif, Penegakan Hukum, Sumber Daya Laut, Kedaulatan Maritim, IUU Fishing I. PENDAHULUAN Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) merupakan wilayah maritim yang penting bagi Indonesia, mengingat kekayaan sumber daya alam yang dimilikinya. Namun, IUU fishing oleh kapal asing menjadi ancaman yang menggerus potensi ekonomi dan merusak ekosistem laut. Pemerintah Indonesia telah mengadopsi berbagai kebijakan dan strategi untuk menanggulangi masalah ini, namun tantangan dalam penegakan hukum masih besar. Jurnal ini bertujuan untuk mengkaji isu pencurian ikan di ZEE Indonesia dan mengevaluasi langkah-langkah penegakan hukum yang telah diimplementasikan. IUU fishing tidak hanya menjadi masalah bagi negara-negara pantai tetapi juga menjadi perhatian global karena dampaknya terhadap keberlanjutan sumber daya perikanan dunia. UNCLOS sebagai dasar hukum internasional mengatur bahwa negara pantai memiliki hak untuk mengeksploitasi dan mengelola sumber daya perikanan di ZEE mereka, serta kewajiban untuk memastikan bahwa penangkapan ikan dilakukan secara berkelanjutan. Untuk menanggulangi IUU fishing, berbagai instrumen hukum internasional telah diadopsi, oleh Indonesia, termasuk: Agreement to Promote Compliance with International Conservation and Management Measures by Fishing Vessels on the High Seas (1993) yang dikenal sebagai “Compliance Agreement.” United Nations Fish Stocks Agreement (UNFSA) (1995) yang memberikan panduan untuk konservasi dan pengelolaan stok ikan yang bergerak di luar ZEE. Port State Measures Agreement (PSMA) (2009) yang bertujuan mencegah kapal yang terlibat dalam IUU fishing menggunakan pelabuhan-pelabuhan untuk mengakses pasar global. Selain itu, organisasi regional seperti Regional Fisheries Management Organizations (RFMOs) memainkan peran penting dalam pengawasan dan pengelolaan perikanan lintas batas. Negara-negara anggota wajib mematuhi aturan dan kebijakan yang ditetapkan oleh RFMOs, termasuk langkah-langkah untuk mengatasi IUU fishing. IUU fishing dalam konteks hukum internasional bukan hanya melanggar kedaulatan negara pantai, tetapi juga merusak upaya global untuk menjaga keberlanjutan perikanan dan ekosistem laut. Oleh karena itu, kerjasama internasional dan penegakan hukum yang efektif sangat diperlukan untuk melawan ancaman ini. Indonesia, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai yang sangat panjang diperkirakan 54.715 kilometer dan luasnya Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 6,2 juta kilometer persegi, menghadapi tantangan besar dalam melindungi sumber daya maritimnya dari ancaman illegal, unreported, and unregulated (IUU) fishing. Untuk menangani tantangan ini, Indonesia telah mengadopsi berbagai kebijakan dan regulasi yang dirancang untuk melindungi ZEE dan menjaga keberlanjutan sumber daya lautnya. Berikut ini adalah tinjauan terhadap kebijakan dan regulasi utama yang diadopsi oleh Indonesia: 1. Undang-Undang Perikanan : Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009, menjadi dasar hukum utama dalam pengelolaan perikanan di Indonesia. UU ini menetapkan ketentuan mengenai: – Pengelolaan dan konservasi sumber daya ikan. – Izin penangkapan ikan dan operasi kapal perikanan. – Pengawasan dan penegakan hukum dalam kegiatan perikanan. – Sanksi bagi pelanggaran, termasuk kegiatan IUU fishing di wilayah perairan Indonesia dan ZEE. 2. Kebijakan “Poros Maritim Dunia” Di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo, Indonesia mengadopsi kebijakan “Poros Maritim Dunia,” yang bertujuan menjadikan Indonesia sebagai kekuatan maritim yang tangguh dan berpengaruh secara global. Salah satu pilar utama dari kebijakan ini adalah perlindungan kedaulatan maritim Indonesia, termasuk upaya serius dalam melawan IUU fishing. Melalui kebijakan ini, Indonesia berkomitmen untuk memperkuat pengawasan, meningkatkan armada patroli, dan memperkuat hukum maritim. 3. Pembentukan Satgas 115 Pada tahun 2015, Presiden Joko Widodo membentuk “Satuan Tugas Pemberantasan Penangkapan Ikan Secara Ilegal” (Satgas 115) yang dipimpin oleh Menteri Kelautan dan Perikanan. Satgas ini memiliki tugas untuk mengoordinasikan berbagai instansi pemerintah dalam upaya melawan IUU fish`ing. Tindakan yang dilakukan oleh Satgas 115 mencakup: penegakan Hukum yang tegas, Peningkatan Operasi Pengawasan, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan dan Kerjasama Regional dan Internasional, Penggunaan Teknologi dan Pengawasan Maritim, Pendidikan dan Kesadaran Publik Indonesia, dengan wilayah maritim seluas 6,9 juta kilometer persegi dan kaya akan sumber daya laut, telah menjadi target bagi pelaku illegal, unreported, and unregulated (IUU) fishing, terutama oleh kapal-kapal asing. Kasus-kasus IUU fishing yang terjadi di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia tidak hanya merugikan ekonomi negara, tetapi juga mengancam keberlanjutan ekosistem laut. II. METODOLOGI Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Data diperoleh melalui analisis dokumen kebijakan, laporan resmi dari instansi terkait, serta wawancara dengan para ahli dan praktisi di bidang kelautan dan perikanan. Analisis dilakukan untuk mengevaluasi efektivitas penegakan hukum dan mengidentifikasi tantangan yang dihadapi. III. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Kebijakan dan Strategi Penegakan Hukum Indonesia, sebagai negara maritim dengan wilayah perairan yang sangat luas, telah menghadapi tantangan besar dalam memberantas illegal, unreported, and unregulated (IUU) fishing. Untuk itu, pemerintah Indonesia telah menerapkan berbagai kebijakan dan strategi penegakan hukum yang dirancang untuk melindungi sumber daya perikanan dan menjaga kedaulatan maritimnya. Salah satu komponen kunci dari upaya ini adalah pembentukan Satuan Tugas Pemberantasan Penangkapan Ikan Secara Ilegal (Satgas 115). Hingga tahun 2020 telah lebih dari 500 kapal asing telah ditenggelamkan sebegai bagian dari kebajakan ini. Melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56 Tahun 2014, Indonesia memberlakukan moratorium terhadap izin operasi kapal-kapal eks-asing di perairan Indonesia. Langkah ini diambil untuk memastikan bahwa kapal-kapal yang sebelumnya beroperasi secara ilegal tidak dapat kembali beroperasi dengan izin baru. Dalam rangka penguatan kerjasama Internasional, Indonesia juga berperan aktif dalam berbagai forum internasional untuk melawan IUU fishing, termasuk melalui ratifikasi Port State Measures Agreement (PSMA) dan partisipasi dalam Regional Fisheries Management Organizations (RFMOs. Kerjasama ini bertujuan untuk mencegah kapal-kapal yang terlibat dalam IUU fishing dari menggunakan pelabuhan-pelabuhan di Indonesia atau negara lain untuk menjual hasil tangkapannya. Satgas 115 dibentuk oleh Presiden Joko Widodo pada tahun 2015, dengan tugas khusus untuk mengoordinasikan berbagai instansi dalam memberantas IUU fishing. Satgas ini dipimpin oleh Menteri Kelautan dan Perikanan dan melibatkan berbagai lembaga, termasuk TNI Angkatan Laut, Kepolisian,
Peringati 32 Tahun Pengabdian, TNI-AL (AAL38) Gelar Baksos Persada 92

Dalam rangka memperingati 32 tahun pengabdian Persaudaraan, AKABRI 92 (Persada 92) menggelar Bhakti Sosial, (25/8) di Pelelangan Ikan Muara Angke, Jakarta Utara. Menurut Ketua Persaudaraan 92 (AAL 38), Laksda TNI Achmad Wibisono, Kegiatan Baksos TNI-AL (AAL 38) bersama PIMA Indonesia itu berupa pemeriksaan kesehatan dan pemberian obat-obatan gratis, pemberian kacamata gratis dan pembagian Sembako. Selain itu, sebut Achmad Wibisono, juga ada aksi donor darah, pemberian makan gratis bergizi bersama Masyarakat insan maritim dan TNI-AL, serta panggung hiburan. Dalam sambutannya, ia juga mengatakan sangat berterima kasih atas kerjasama dan partisipasi PIMA Indonesia dalam kegiatan bakti sosial ini. “Kami berharap, PIMA Indonesia akan makin berkembang dan ada di seluruh wilayah Indonesia,” sebutnya. Sementara itu, dalam kegiatan tersebut tampak antusiasme masyarakat begitu besar, terutama yang mengikuti pengobatan pemeriksaan kesehatan gratis. Hal itu terlihat dari panjangnya antrean. Menanggapi hal itu, Harnoto selaku Ketum PIMA mengatakan, kegiatan ini dirasakan sangat bermanfaat bagi masyarakat. Dalam rangka pengabdian AAL 38 selama 32 tahun ini, imbuh Harnoto, tidak hanya memberikan bantuan materiil, tetapi juga mempererat ikatan sosial dan kemanusiaan di antara masyarakat maritim dan anggota TNI. “Sungguh suatu pengabdian yang luar biasa kepada masyarakat dan negara kesatuan RI,” ujarnya. TNI-AL melalui asisten potensi maritim (Aspotmar) TNI-AL, sebut dia lagi, sesuai tugasnya adalah selaku Pembina PIMA Indonesia. “Merupakan suatu kebanggaan yang luar biasa PIMA bisa bersinergi dengan TNI-AL, khususnya AAL 38 Angkatan 1992 dalam melakukan bakti sosial kepada masyarakat Maritim, khususnya di Muara Angke pada hari ini,” pungkasnya. Sementara itu, Eric Hans, selaku Ketua Seksi OKK menyampaikan bahwaPIMA Indonesia ini merupakan wadah untuk masyarakat maritim di seluruh Indonesia. “Saat ini, PIMA sudah memiliki 6 Dewan Perwakilan Wilayah (DPW), yaitu Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bangka belitung, Nusa tenggara Timur, dan Maluku,” terangnya. Dalam waktu dekat ini, kata dia, akan segera dibentuk 4 DPW baru, yaitu Riau, Kepri, Kalimantan Barat dan Sulawesi Utara. “PIMA Indonesia juga akan turut berperan aktif dalam membantu untuk kemajuan kemaritiman di Indonesia,” pungkasnya. (**) Peringati 32 Tahun Pengabdian, TNI-AL (AAL38) Gelar Baksos Persada 92 – WARTA ANDALAS (topten-news.com)
Ketidakpastian Hukum Akibat Tumpang Tindih Peraturan Kelautan di Indonesia

KETIDAKPASTIAN HUKUM AKIBAT TUMPANG TINDIH PERATURAN KELAUTAN DI INDONESIA OLEH : DR. HELEX WIRAWAN, S.E., S.H.,M.H. 1. Pendahuluan Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan lebih dari 17.000 pulau dan memiliki potensi sumber daya laut yang sangat besar. Sektor perikanan memainkan peran penting dalam perekonomian nasional, baik sebagai sumber pendapatan negara, penciptaan lapangan kerja, maupun sebagai penyedia kebutuhan protein bagi masyarakat. Namun, potensi besar ini juga membawa tantangan yang signifikan dalam hal pengelolaan dan pelestarian sumber daya laut. Dalam upaya mengatur dan mengelola sumber daya perikanan, Indonesia telah memberlakukan berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan kelautan dan perikanan. Namun, tumpang tindih peraturan di sektor ini telah menjadi isu yang signifikan dan mengancam kepastian hukum serta efektivitas pengelolaan sumber daya laut. Tumpang tindih peraturan perundang-undangan terjadi ketika dua atau lebih peraturan mengatur hal yang sama dengan cara yang berbeda atau ketika terdapat konflik kewenangan antara berbagai lembaga pemerintahan. Contoh nyata dari tumpang tindih ini bisa dilihat antara Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, serta peraturan lainnya yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya perikanan. Ketidakjelasan ini menyebabkan kebingungan di kalangan masyarakat, pelaku usaha, serta aparat penegak hukum dalam menentukan peraturan mana yang harus diikuti. Kepastian hukum, yang seharusnya menjadi prinsip dasar dalam setiap sistem hukum, menjadi terganggu oleh adanya tumpang tindih ini. Ketidakpastian hukum berdampak pada lemahnya penegakan hukum, rendahnya efektivitas regulasi, dan bahkan menimbulkan konflik kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah. Akibatnya, tidak hanya proses pengelolaan sumber daya laut yang terganggu, tetapi juga kepercayaan investor dan pelaku usaha dalam mengembangkan bisnis di sektor perikanan menjadi tergerus. Lebih lanjut, pengelolaan yang tidak efektif ini mengakibatkan eksploitasi sumber daya laut yang tidak terkendali, yang pada gilirannya merusak ekosistem laut dan mengancam keberlanjutan sektor perikanan itu sendiri. Sumber daya ikan yang seharusnya dikelola secara berkelanjutan justru terancam mengalami degradasi yang serius akibat lemahnya koordinasi antar lembaga pemerintah dan inkonsistensi dalam penerapan peraturan. Latar belakang masalah ini menggarisbawahi pentingnya penelitian yang mendalam mengenai implikasi tumpang tindih peraturan perundang-undangan di sektor perikanan terhadap kepastian hukum dan efektivitas pengelolaan sumber daya laut di Indonesia. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi upaya reformasi regulasi di sektor kelautan dan perikanan, serta memperkuat dasar hukum yang mendukung pengelolaan sumber daya laut yang berkelanjutan dan berkeadilan. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, terdapat beberapa permasalahan utama yang menjadi fokus dalam penelitian ini. Rumusan masalah dalam tulisan ini adalah sebagai berikut: Bagaimana bentuk tumpang tindih peraturan perundang-undangan disektor perikanan di Indonesia? Apa saja faktor penyebab terjadinya tumpang tindih peraturan perundang-undangan di sektor perikanan? Bagaimana dampak tumpang tindih peraturan perundang-undangan terhadap kepastian hukum di sektor perikanan? Bagaimana tumpang tindih peraturan perundang-undangan mempengaruhi efektivitas pengelolaan sumber daya laut di Indonesia? Apa rekomendasi kebijakan yang dapat diberikan untuk mengatasi tumpang tindih peraturan perundang-undangan di sektor perikanan? Rumusan masalah ini akan menjadi panduan penulis untuk mengeksplorasi dan menjawab isu-isu kunci yang terkait dengan tumpang tindih peraturan perundang-undangan di sektor perikanan, serta memberikan kontribusi terhadap perbaikan kebijakan dan regulasi di bidang ini. Kepastian hukum adalah prinsip dasar yang harus dipenuhi oleh setiap sistem hukum agar aturan yang berlaku dapat diikuti dan dipahami oleh masyarakat. Aplikasi dari teori ini adalah untuk mengevaluasi sejauh mana tumpang tindih peraturan di sektor perikanan mengganggu kepastian hukum, serta bagaimana hal ini mempengaruhi pelaku usaha dan pengelolaan sumber daya laut. Dalam konteks perikanan, hukum yang tumpang tindih dapat mempengaruhi pembangunan sektor perikanan yang berkelanjutan. Ketidakpastian hukum akibat tumpang tindih regulasi dapat berdampak pada perkembangan sektor perikanan dan pengelolaan sumber daya laut di Indonesia, serta menghambat pencapaian tujuan pembangunan. Ketika regulasi saling tumpang tindih, efektivitas pengaturan bisa terganggu. Aplikasi: Teori ini dapat digunakan untuk menganalisis kelemahan dalam desain regulasi di sektor perikanan dan memberikan rekomendasi untuk reformasi regulasi yang lebih efektif dan harmonis. Kepastian hukum adalah prinsip di mana hukum yang berlaku harus jelas, pasti, dan tidak menimbulkan ambiguitas sehingga dapat diprediksi oleh masyarakat dan pelaku usaha. Kepastian hukum sangat penting untuk menciptakan stabilitas dan kepercayaan dalam sistem hukum. Ketika peraturan di sektor kelautan saling tumpang tindih, hal ini menciptakan ketidakjelasan dan kebingungan mengenai aturan mana yang harus diikuti. Misalnya, perbedaan kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah dalam pengelolaan sumber daya laut bisa menyebabkan kebingungan bagi pelaku usaha dalam mendapatkan izin atau mematuhi peraturan yang berlaku. Tumpang tindih peraturan menciptakan konflik antar-regulasi, di mana dua atau lebih peraturan mengatur hal yang sama dengan cara yang berbeda. Contoh klasik adalah konflik antara Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah terkait kewenangan pengelolaan laut. Konflik antar-regulasi ini sering kali menyebabkan ketidakpastian dalam penegakan hukum, di mana aparat penegak hukum dan pengawas bisa memiliki interpretasi yang berbeda terhadap peraturan yang ada. Ini berakibat pada penerapan hukum yang inkonsisten dan tidak dapat diprediksi. Kepastian hukum adalah faktor kunci dalam menarik investasi, terutama di sektor yang memerlukan komitmen jangka panjang seperti kelautan dan perikanan. Tumpang tindih peraturan mengurangi kepercayaan investor karena mereka khawatir akan menghadapi ketidakpastian dalam perizinan, pelaksanaan proyek, dan perlindungan hukum. Investasi di sektor kelautan menjadi lebih berisiko jika ada ketidakpastian hukum. Investor dapat menghadapi hambatan birokrasi yang kompleks, perubahan peraturan yang tidak terduga, dan potensi sengketa hukum yang berlarut-larut karena adanya tumpang tindih peraturan. Tumpang tindih peraturan mengakibatkan inkonsistensi dalam pengawasan. Misalnya, perbedaan pandangan antara pemerintah pusat dan daerah atau antara lembaga yang berbeda dapat menghambat penegakan hukum di lapangan. Akibatnya, pelanggaran hukum seperti illegal fishing, pencemaran laut, atau eksploitasi sumber daya laut tidak ditangani secara efektif. Ketidakpastian hukum juga memengaruhi penerapan sanksi. Jika peraturan yang diterapkan tumpang tindih, maka pelanggar dapat memanfaatkan celah hukum untuk menghindari atau memperpanjang proses hukum, sehingga penegakan hukum menjadi tidak efektif. Tumpang tindih peraturan menambah kerumitan dalam proses birokrasi, di mana pelaksanaan suatu kebijakan atau program harus melewati berbagai prosedur dan persyaratan yang berbeda-beda. Hal ini menghambat efisiensi pemerintahan dalam menjalankan fungsinya di sektor kelautan. Ketika peraturan dari berbagai lembaga tumpang tindih, koordinasi antar lembaga pemerintah sering kali menjadi tidak efektif. Hal
BAKTI SOSIAL TNI AL & PIMA INDONESIA

BAKTI SOSIAL TNI AL & PIMA INDONESIA Dalam rangka HUT RI ke 79 dan memperingati 32 th Pengabdian Persada 92 (Persaudaraan AKABRI 92) maka TNI-AL (AAL 38) bersama PIMA Indonesia akan mengadakan BAKTI SOSIAL pada Hari/Tgl : Minggu /25 Agt 2024 Waktu : Pkl 08.00-13.00 WIB Lokasi : Pelelangan Muara Angke, jakarta Titik lokasi : https://maps.app.goo.gl/LPKMppA9cLanPZwf6 Kegiatan meliputi pemeriksaan kesehatan gratis, donor darah, pembagian sembako, panggung hiburan dan makan siang bersama masyarakat maritim dan TNI AL. Bagi yg ingin ikut berpartisipasi kegiatan donor darah bisa mendaftar. Terimakasih atas partisipasi anda.
Mayjen (purn) Drs. Sidarto Danusbroto S.H. anggota Wantimpres menerima audiensi PIMA Indonesia

Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Sidarto Danusubroto didampingi Sekretaris Anggota Sudiman Tarigan, Staf Ahli Triana Dewi Seroja dan Kris Tjantra, menerima audiensi Pengurus Perkumpulan Insan Maritim Andalan (PIMA) yang dipimpin Ketua Umum Harnoto, Kamis 15 Agustus 2024 di kantor Wantimpres. PIMA adalah sebuah organisasi yang berdiri untuk mendorong dan memajukan pengembangan dunia Maritim di Indonesia dengan visi untuk mewujudkan masyarakat kelautan dan perikanan yang sejahtera dengan sumber daya kelautan dan perikanan yang berkelanjutan serta peningkatan kontribusi sektor perikanan terhadap Pendapatan Domestik Bruto Nasional. Dalam diskusi disampaikan berbagai permasalahan yang terkait dengan perikanan dan sumber daya kelautan di Indonesia. Berdasarkan data FAO tahun 2022, Indonesia memiliki wilayah yang berpotensi sebagai sumber daya perikanan yaitu sebesar 26.606.000 ha. Potensi sumber daya ikan (SDI) mencapai 12,01 juta ton per tahun yang berada di 11 wilayah pengelolaan perikanan (WPP). Potensi sumber daya perikanan yang besar di Indonesia, tentunya membutuhkan perhatian khusus dalam proses pengelolaan. Potensi ini belum dapat dikelola secara baik dan maksimal karena berbagai kendala. Sehubungan dengan hal tersebut, perlu dicari solusi agar potensi perikanan dan sumber saya kelautan di Indonesia dapat dimanfaatkan secara optimal sumber : Sidarto Danusubroto menerima Audiensi dari PIMA – Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres)
Event PIMA Bulan Agustus 2024

Kalender kegiatan PIMA Bulan Agustus 2024 1. Tgl 9 – 11 Agt 2024 Kejuaraan catur Internasional untuk Disablitas dan umum. Ceremony pembukaan Tgl 9 Agt 2024 Pkl 13.00 WIB 2.Tgl 24 Agt 2024 Pkl 08.00 – 13.00 WIB Bakti sosial TNI-AL & PIMA Meliputi kegiatan pemeriksaan kesehatan gratis, donor darah 100 orang, pembagian sembako 300 paket, hiburan musik, makan bersama nelayan dan masyarakat pesisir 500 orang. Seluruh pengurus PIMA diharap dapat ikut berpartisipasi. (Detail rundown acara menyusul) Demikian agenda kegiatan PIMA bulan Agustus 2024. Terimakasih 🙏
Agenda PIMA 1
What is Lorem Ipsum? Lorem Ipsum is simply dummy text of the printing and typesetting industry. Lorem Ipsum has been the industry’s standard dummy text ever since the 1500s, when an unknown printer took a galley of type and scrambled it to make a type specimen book. It has survived not only five centuries, but also the leap into electronic typesetting, remaining essentially unchanged. It was popularised in the 1960s with the release of Letraset sheets containing Lorem Ipsum passages, and more recently with desktop publishing software like Aldus PageMaker including versions of Lorem Ipsum. Why do we use it? It is a long established fact that a reader will be distracted by the readable content of a page when looking at its layout. The point of using Lorem Ipsum is that it has a more-or-less normal distribution of letters, as opposed to using ‘Content here, content here’, making it look like readable English. Many desktop publishing packages and web page editors now use Lorem Ipsum as their default model text, and a search for ‘lorem ipsum’ will uncover many web sites still in their infancy. Various versions have evolved over the years, sometimes by accident, sometimes on purpose (injected humour and the like). Where does it come from? Contrary to popular belief, Lorem Ipsum is not simply random text. It has roots in a piece of classical Latin literature from 45 BC, making it over 2000 years old. Richard McClintock, a Latin professor at Hampden-Sydney College in Virginia, looked up one of the more obscure Latin words, consectetur, from a Lorem Ipsum passage, and going through the cites of the word in classical literature, discovered the undoubtable source. Lorem Ipsum comes from sections 1.10.32 and 1.10.33 of “de Finibus Bonorum et Malorum” (The Extremes of Good and Evil) by Cicero, written in 45 BC. This book is a treatise on the theory of ethics, very popular during the Renaissance. The first line of Lorem Ipsum, “Lorem ipsum dolor sit amet..”, comes from a line in section 1.10.32. The standard chunk of Lorem Ipsum used since the 1500s is reproduced below for those interested. Sections 1.10.32 and 1.10.33 from “de Finibus Bonorum et Malorum” by Cicero are also reproduced in their exact original form, accompanied by Englis