PIMA

banner

KETIDAKPASTIAN HUKUM AKIBAT TUMPANG TINDIH PERATURAN KELAUTAN DI INDONESIA

OLEH : HELEX WIRAWAN, S.E., S.H.,M.H.

1. Pendahuluan

      Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan lebih dari 17.000 pulau dan memiliki potensi sumber daya laut yang sangat besar. Sektor perikanan memainkan peran penting dalam perekonomian nasional, baik sebagai sumber pendapatan negara, penciptaan lapangan kerja, maupun sebagai penyedia kebutuhan protein bagi masyarakat. Namun, potensi besar ini juga membawa tantangan yang signifikan dalam hal pengelolaan dan pelestarian sumber daya laut.

     Dalam upaya mengatur dan mengelola sumber daya perikanan, Indonesia telah memberlakukan berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan kelautan dan perikanan. Namun, tumpang tindih peraturan di sektor ini telah menjadi isu yang signifikan dan mengancam kepastian hukum serta efektivitas pengelolaan sumber daya laut.

     Tumpang tindih peraturan perundang-undangan terjadi ketika dua atau lebih peraturan mengatur hal yang sama dengan cara yang berbeda atau ketika terdapat konflik kewenangan antara berbagai lembaga pemerintahan. Contoh nyata dari tumpang tindih ini bisa dilihat antara Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, serta peraturan lainnya yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya perikanan. Ketidakjelasan ini menyebabkan kebingungan di kalangan masyarakat, pelaku usaha, serta aparat penegak hukum dalam menentukan peraturan mana yang harus diikuti.

     Kepastian hukum, yang seharusnya menjadi prinsip dasar dalam setiap sistem hukum, menjadi terganggu oleh adanya tumpang tindih ini. Ketidakpastian hukum berdampak pada lemahnya penegakan hukum, rendahnya efektivitas regulasi, dan bahkan menimbulkan konflik kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah. Akibatnya, tidak hanya proses pengelolaan sumber daya laut yang terganggu, tetapi juga kepercayaan investor dan pelaku usaha dalam mengembangkan bisnis di sektor perikanan menjadi tergerus.

     Lebih lanjut, pengelolaan yang tidak efektif ini mengakibatkan eksploitasi sumber daya laut yang tidak terkendali, yang pada gilirannya merusak ekosistem laut dan mengancam keberlanjutan sektor perikanan itu sendiri. Sumber daya ikan yang seharusnya dikelola secara berkelanjutan justru terancam mengalami degradasi yang serius akibat lemahnya koordinasi antar lembaga pemerintah dan inkonsistensi dalam penerapan peraturan.

     Latar belakang masalah ini menggarisbawahi pentingnya penelitian yang mendalam mengenai implikasi tumpang tindih peraturan perundang-undangan di sektor perikanan terhadap kepastian hukum dan efektivitas pengelolaan sumber daya laut di Indonesia. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi upaya reformasi regulasi di sektor kelautan dan perikanan, serta memperkuat dasar hukum yang mendukung pengelolaan sumber daya laut yang berkelanjutan dan berkeadilan.

     Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, terdapat beberapa permasalahan utama yang menjadi fokus dalam penelitian ini. Rumusan masalah dalam tulisan ini adalah sebagai berikut:

  1. Bagaimana bentuk tumpang tindih peraturan perundang-undangan disektor perikanan di Indonesia?
  2. Apa saja faktor penyebab terjadinya tumpang tindih peraturan perundang-undangan di sektor perikanan?
  3. Bagaimana dampak tumpang tindih peraturan perundang-undangan terhadap kepastian hukum di sektor perikanan?
  4. Bagaimana tumpang tindih peraturan perundang-undangan mempengaruhi efektivitas pengelolaan sumber daya laut di Indonesia?
  5. Apa rekomendasi kebijakan yang dapat diberikan untuk mengatasi tumpang tindih peraturan perundang-undangan di sektor perikanan?

    

     Rumusan masalah ini akan menjadi panduan penulis untuk mengeksplorasi dan menjawab isu-isu kunci yang terkait dengan tumpang tindih peraturan perundang-undangan di sektor perikanan, serta memberikan kontribusi terhadap perbaikan kebijakan dan regulasi di bidang ini.

     Kepastian hukum adalah prinsip dasar yang harus dipenuhi oleh setiap sistem hukum agar aturan yang berlaku dapat diikuti dan dipahami oleh masyarakat. Aplikasi dari teori ini adalah untuk mengevaluasi sejauh mana tumpang tindih peraturan di sektor perikanan mengganggu kepastian hukum, serta bagaimana hal ini mempengaruhi pelaku usaha dan pengelolaan sumber daya laut.

    Dalam konteks perikanan, hukum yang tumpang tindih dapat mempengaruhi pembangunan sektor perikanan yang berkelanjutan. Ketidakpastian hukum akibat tumpang tindih regulasi dapat berdampak pada perkembangan sektor perikanan dan pengelolaan sumber daya laut di Indonesia, serta menghambat pencapaian tujuan pembangunan.

    Ketika regulasi saling tumpang tindih, efektivitas pengaturan bisa terganggu. Aplikasi: Teori ini dapat digunakan untuk menganalisis kelemahan dalam desain regulasi di sektor perikanan dan memberikan rekomendasi untuk reformasi regulasi yang lebih efektif dan harmonis.

     Kepastian hukum adalah prinsip di mana hukum yang berlaku harus jelas, pasti, dan tidak menimbulkan ambiguitas sehingga dapat diprediksi oleh masyarakat dan pelaku usaha. Kepastian hukum sangat penting untuk menciptakan stabilitas dan kepercayaan dalam sistem hukum. Ketika peraturan di sektor kelautan saling tumpang tindih, hal ini menciptakan ketidakjelasan dan kebingungan mengenai aturan mana yang harus diikuti. Misalnya, perbedaan kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah dalam pengelolaan sumber daya laut bisa menyebabkan kebingungan bagi pelaku usaha dalam mendapatkan izin atau mematuhi peraturan yang berlaku.

     Tumpang tindih peraturan menciptakan konflik antar-regulasi, di mana dua atau lebih peraturan mengatur hal yang sama dengan cara yang berbeda. Contoh klasik adalah konflik antara Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah terkait kewenangan pengelolaan laut. Konflik antar-regulasi ini sering kali menyebabkan ketidakpastian dalam penegakan hukum, di mana aparat penegak hukum dan pengawas bisa memiliki interpretasi yang berbeda terhadap peraturan yang ada. Ini berakibat pada penerapan hukum yang inkonsisten dan tidak dapat diprediksi.

     Kepastian hukum adalah faktor kunci dalam menarik investasi, terutama di sektor yang memerlukan komitmen jangka panjang seperti kelautan dan perikanan. Tumpang tindih peraturan mengurangi kepercayaan investor karena mereka khawatir akan menghadapi ketidakpastian dalam perizinan, pelaksanaan proyek, dan perlindungan hukum. Investasi di sektor kelautan menjadi lebih berisiko jika ada ketidakpastian hukum. Investor dapat menghadapi hambatan birokrasi yang kompleks, perubahan peraturan yang tidak terduga, dan potensi sengketa hukum yang berlarut-larut karena adanya tumpang tindih peraturan. Tumpang tindih peraturan mengakibatkan inkonsistensi dalam pengawasan. Misalnya, perbedaan pandangan antara pemerintah pusat dan daerah atau antara lembaga yang berbeda dapat menghambat penegakan hukum di lapangan. Akibatnya, pelanggaran hukum seperti illegal fishing, pencemaran laut, atau eksploitasi sumber daya laut tidak ditangani secara efektif. Ketidakpastian hukum juga memengaruhi penerapan sanksi. Jika peraturan yang diterapkan tumpang tindih, maka pelanggar dapat memanfaatkan celah hukum untuk menghindari atau memperpanjang proses hukum, sehingga penegakan hukum menjadi tidak efektif.

     Tumpang tindih peraturan menambah kerumitan dalam proses birokrasi, di mana pelaksanaan suatu kebijakan atau program harus melewati berbagai prosedur dan persyaratan yang berbeda-beda. Hal ini menghambat efisiensi pemerintahan dalam menjalankan fungsinya di sektor kelautan. Ketika peraturan dari berbagai lembaga tumpang tindih, koordinasi antar lembaga pemerintah sering kali menjadi tidak efektif. Hal ini menyebabkan implementasi kebijakan menjadi terhambat dan tidak optimal.

     Tumpang tindih peraturan kelautan berdampak negatif terhadap kepastian hukum di Indonesia. Ketidakjelasan aturan, konflik antar-regulasi, serta penegakan hukum yang inkonsisten dan tidak efektif, semuanya berkontribusi pada ketidakpastian hukum. Akibatnya, hal ini dapat menghambat investasi, melemahkan penegakan hukum, dan mengurangi efisiensi pemerintahan dalam mengelola sumber daya laut. Untuk mencapai kepastian hukum yang lebih baik, diperlukan harmonisasi dan penyederhanaan peraturan di sektor kelautan, serta peningkatan koordinasi antar lembaga terkait.

2. Bentuk Tumpang Tindih Peraturan Perundang-undangan di sektor perikanan di Indonesia
a. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan

     Bidang Pengelolaan Wilayah Laut: Undang-undang ini memberikan kewenangan kepada pemerintah pusat untuk mengelola wilayah laut di luar 12 mil laut dari garis pantai, sementara pemerintah daerah diberi kewenangan untuk mengelola wilayah laut hingga 12 mil. Namun, terdapat tumpang tindih dengan peraturan lainnya terkait kewenangan pengelolaan sumber daya laut, seperti dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

b. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

     Kewenangan Pengelolaan Laut oleh Daerah: Undang-undang ini mengatur kewenangan pemerintah provinsi dalam mengelola sumber daya laut hingga 12 mil dari garis pantai, namun tumpang tindih dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 yang juga mengatur kewenangan pemerintah pusat di wilayah laut tertentu. Perbedaan interpretasi tentang batas kewenangan antara pusat dan daerah sering kali menyebabkan konflik dalam pengelolaan sumber daya laut..

c. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU PWP3K)

     Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut: UU PWP3K mengatur tentang pengelolaan wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil, termasuk dalam hal pemanfaatan sumber daya. Namun, terdapat tumpang tindih dengan aturan lain seperti UU Kelautan dan UU Pemerintahan Daerah, terutama dalam hal pembagian kewenangan antara pusat dan daerah serta pengelolaan ruang laut.

d. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (dan Perubahannya, UU No. 45 Tahun 2009)

     Perikanan dan Pengelolaan Sumber Daya Ikan: UU Perikanan mengatur pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya perikanan di wilayah laut Indonesia. Namun, peraturan ini sering kali tumpang tindih dengan UU PWP3K dan UU Kelautan, terutama dalam hal perizinan dan pengawasan terhadap aktivitas perikanan.

e. Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2017 tentang Kebijakan Kelautan Indonesia

     Kebijakan Kelautan Terintegrasi: Perpres ini dimaksudkan untuk menjadi panduan kebijakan kelautan nasional secara terintegrasi. Namun, dalam pelaksanaannya, Perpres ini kerap kali tumpang tindih dengan undang-undang sektor lainnya, seperti UU Kelautan, UU PWP3K, dan UU Perikanan, yang memiliki ketentuan berbeda terkait pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya laut.

f. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara

     Eksplorasi dan Eksploitasi Sumber Daya Laut: UU ini mengatur tentang pengelolaan pertambangan termasuk di wilayah laut. Tumpang tindih terjadi dengan UU Kelautan dan UU PWP3K terkait kewenangan pengelolaan sumber daya alam di laut, terutama dalam hal kegiatan eksplorasi dan eksploitasi.

g. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

     Perlindungan Lingkungan Laut: UU ini mengatur tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup termasuk lingkungan laut. Namun, tumpang tindih dengan UU Kelautan dan UU PWP3K dalam hal pengaturan perlindungan ekosistem laut dan pesisir, serta dalam penerapan sanksi terhadap pelanggaran lingkungan di sektor kelautan.

3. Tumpang Tindih Peraturan Perundang-undangan dalam Pespektif Teori Kepastiam Hukum, Teori Hukum Pembangunan dan Teori Pengaturan (Regulatory)

     Kepastian hukum merupakan prinsip utama dalam sistem hukum yang menekankan bahwa hukum harus jelas, konsisten, dan dapat diprediksi. Dalam konteks tumpang tindih peraturan di sektor perikanan, teori ini akan digunakan untuk menganalisis sejauh mana peraturan-peraturan yang ada memenuhi prinsip kepastian hukum. Ketidakjelasan dan inkonsistensi dalam peraturan menunjukkan pelanggaran terhadap prinsip ini, yang pada gilirannya menyebabkan kebingungan di antara pelaku usaha dan masyarakat.

     Dari perspektif kepastian hukum, tumpang tindih peraturan dapat terjadi karena kegagalan dalam memastikan bahwa setiap peraturan yang dibuat tidak bertentangan dengan peraturan lainnya dan memenuhi kebutuhan hukum yang konsisten dan jelas. Pembahasan ini akan mengeksplorasi apakah proses legislasi dan penegakan hukum di Indonesia cukup memenuhi standar ini atau tidak.

     Teori Hukum Pembangunan akan melihat faktor-faktor yang menyebabkan tumpang tindih peraturan dari sudut pandang pembangunan. Misalnya, apakah kurangnya koordinasi antar lembaga pemerintah dan keterlibatan pemangku kepentingan menyebabkan peraturan yang saling bertentangan dan apakah hal ini mencerminkan kegagalan hukum dalam mendukung pembangunan ekonomi di sektor perikanan.

     Teori Hukum Pembangunan menyoroti bagaimana hukum harus mendukung proses pembangunan sosial dan ekonomi. Dalam hal ini, tumpang tindih peraturan dapat dilihat sebagai penghalang bagi pembangunan sektor perikanan yang berkelanjutan.

     Dari perspektif pembangunan, dampak ketidakpastian hukum akibat tumpang tindih peraturan dapat dilihat dalam konteks bagaimana hal ini mempengaruhi keberlanjutan dan pertumbuhan ekonomi di sektor perikanan. Ketidakpastian dapat menghalangi investasi dan merusak upaya untuk mencapai pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan.

     Teori Pengaturan akan membantu dalam menganalisis bagaimana desain dan implementasi peraturan di sektor perikanan harus dilakukan untuk menghindari tumpang tindih. Fokusnya adalah pada bagaimana regulasi dapat dirancang secara lebih terintegrasi dan harmonis untuk mencegah konflik antar peraturan dan memastikan efisiensi dalam pengelolaan sumber daya laut.

4. Faktor penyebab terjadinya tumpang tindih peraturan perundang-undangan di sektor perikanan

      Tumpang tindih peraturan perundang-undangan di sektor perikanan di Indonesia disebabkan oleh berbagai faktor yang saling berkaitan. Berikut adalah beberapa faktor utama yang berkontribusi terhadap masalah ini.

a. Banyaknya Lembaga dan Kementerian yang Terlibat

     Pengelolaan sektor perikanan di Indonesia melibatkan banyak lembaga dan kementerian dengan wewenang yang berbeda-beda, seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Perhubungan, dan pemerintah daerah. Setiap lembaga ini memiliki mandat dan kebijakan sendiri, yang sering kali tidak terkoordinasi dengan baik, sehingga menyebabkan tumpang tindih peraturan.

b. Kurangnya Koordinasi dan Sinkronisasi Antar Lembaga.

     Ketidakmampuan untuk melakukan koordinasi yang efektif antar lembaga sering    kali menjadi penyebab utama tumpang tindih peraturan. Masing-masing lembaga mungkin mengeluarkan peraturan yang bertujuan untuk mencapai tujuan yang sama, tetapi dengan pendekatan yang berbeda atau bahkan bertentangan, tanpa memperhatikan peraturan yang sudah ada dari lembaga lain.

c. Perubahan Kebijakan yang Sering dan Tidak Konsisten

     Perubahan kebijakan yang terlalu sering dan tidak konsisten dapat menambah    kompleksitas regulasi di sektor perikanan. Pergantian pimpinan di berbagai kementerian atau lembaga sering kali diikuti oleh perubahan arah kebijakan, yang dapat menyebabkan tumpang tindih dengan peraturan yang sudah ada sebelumnya.

d. Desentralisasi dan Otonomi Daerah

     Implementasi desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia telah memberikan wewenang lebih besar kepada pemerintah daerah untuk mengatur sektor perikanan di wilayahnya. Namun, hal ini sering kali menyebabkan peraturan daerah yang tumpang tindih dengan peraturan nasional, atau antar daerah yang saling berbatasan, yang pada akhirnya menciptakan ketidakpastian hukum.

e. Ketidakjelasan dalam Pembagian Wewenang

     Ketidakjelasan dalam pembagian wewenang antara pemerintah pusat dan daerah, atau antara berbagai lembaga di tingkat pusat, dapat menyebabkan tumpang tindih peraturan. Hal ini terjadi ketika batasan tanggung jawab tidak didefinisikan dengan baik, sehingga masing-masing lembaga merasa berwenang untuk mengatur hal yang sama.

f. Kurangnya Kapasitas dalam Penyusunan Peraturan

     Kadang-kadang, tumpang tindih peraturan terjadi karena kurangnya kapasitas teknis dan pengetahuan dalam penyusunan peraturan di tingkat pemerintah. Tanpa analisis yang mendalam dan koordinasi yang baik, peraturan baru bisa saja mengulang atau bertentangan dengan peraturan yang sudah ada.

g. Tekanan Politik dan Kepentingan Sektoral

     Tekanan politik dari kelompok tertentu atau kepentingan sektoral juga dapat menyebabkan peraturan yang tumpang tindih. Misalnya, peraturan yang dirancang untuk mengakomodasi kepentingan industri tertentu mungkin bertentangan dengan kebijakan konservasi atau peraturan yang melindungi kepentingan masyarakat pesisir.

     Untuk mengatasi tumpang tindih peraturan ini, diperlukan pendekatan yang lebih terpadu dalam penyusunan kebijakan, termasuk peningkatan koordinasi antar lembaga, klarifikasi pembagian wewenang, dan pelibatan lebih luas dari para pemangku kepentingan dalam proses pembuatan regulasi.

5. Dampak tumpang tindih peraturan perundang-undangan terhadap kepastian hukum di sektor perikanan?

      Tumpang tindih peraturan perundang-undangan di sektor perikanan dapat memiliki dampak yang signifikan terhadap kepastian hukum. Berikut beberapa dampak utama:

     a. Kebingungan dalam Penafsiran Hukum

         Ketika terdapat beberapa peraturan yang saling tumpang tindih, hal ini dapat menyebabkan kebingungan dalam penafsiran hukum. Pelaku usaha, penegak hukum, dan pemangku kepentingan lainnya mungkin kesulitan memahami mana peraturan yang harus diikuti atau bagaimana mengintegrasikan peraturan-peraturan yang ada. Beberapa undang-undang mengatur hal yang sama tetapi dengan pendekatan dan ketentuan yang berbeda, sehingga menimbulkan kebingungan dalam implementasi di lapangan.

      b. Penegakan Hukum yang Inkonsekuen

          Tumpang tindih peraturan dapat menyebabkan penegakan hukum yang tidak konsisten. Perbedaan interpretasi atau prioritas dalam penegakan peraturan tertentu dapat membuat pelaku usaha di sektor perikanan mengalami ketidakpastian mengenai konsekuensi hukum dari tindakan mereka. Perbedaan interpretasi kewenangan antara pusat dan daerah dalam beberapa undang-undang menyebabkan tumpang tindih, terutama terkait pengelolaan ruang laut dan perizinan eksplorasi/eksploitasi sumber daya laut.

      c. Meningkatnya Biaya Kepatuhan

          Dengan adanya tumpang tindih peraturan, pelaku usaha mungkin harus mengeluarkan lebih banyak biaya untuk memastikan bahwa mereka mematuhi semua peraturan yang relevan. Hal ini bisa termasuk biaya untuk konsultasi hukum tambahan atau implementasi prosedur kepatuhan yang lebih kompleks.

      d. Menghambat Investasi

           Ketidakpastian hukum yang disebabkan oleh tumpang tindih peraturan dapat menghambat masuknya investasi ke dalam sektor perikanan. Investor mungkin ragu untuk berinvestasi jika mereka merasa bahwa regulasi yang ada tidak jelas atau terlalu rumit untuk diikuti.

      e. Konflik Kepentingan Antar Lembaga

          Tumpang tindih peraturan sering kali melibatkan beberapa lembaga yang memiliki yurisdiksi atau kepentingan yang saling bersinggungan. Hal ini dapat menyebabkan konflik antar lembaga pemerintah, yang pada gilirannya dapat memperburuk ketidakpastian hukum di sektor perikanan. Tumpang tindih peraturan ini juga diperburuk oleh kurangnya koordinasi antar lembaga pemerintah yang terlibat dalam pengelolaan sumber daya laut, yang sering kali memiliki kebijakan dan interpretasi hukum yang berbeda.

      f. Penurunan Kepercayaan Publik

         Jika tumpang tindih peraturan menyebabkan ketidakpastian atau ketidakadilan dalam penerapannya, hal ini dapat menurunkan kepercayaan publik terhadap sistem hukum secara keseluruhan. Di sektor perikanan, hal ini bisa berdampak pada kepatuhan para pelaku usaha dan berujung pada masalah lingkungan atau sosial yang lebih luas.

Keseluruhan dampak ini dapat merusak kepastian hukum yang merupakan landasan penting bagi pengelolaan yang efektif dan berkelanjutan di sektor perikanan. Oleh karena itu, penting untuk melakukan harmonisasi dan simplifikasi peraturan untuk mengatasi tumpang tindih yang ada.

6. Tumpang tindih peraturan perundang-undangan mempengaruhi efektivitas pengelolaan sumber daya laut di Indonesia

Tumpang tindih peraturan perundang-undangan di sektor pengelolaan sumber daya laut di Indonesia dapat secara signifikan mempengaruhi efektivitas pengelolaan sumber daya tersebut. Berikut beberapa dampak utama:

     a. Pengelolaan yang Tidak Terkoordinasi

         Ketika peraturan yang ada saling tumpang tindih, seringkali terjadi kurangnya koordinasi antar lembaga yang bertanggung jawab. Misalnya, kebijakan yang dikeluarkan oleh satu kementerian mungkin bertentangan atau tidak sinkron dengan kebijakan dari kementerian lain. Hal ini dapat mengakibatkan pengelolaan sumber daya laut yang tidak terkoordinasi dengan baik, sehingga upaya konservasi atau eksploitasi sumber daya menjadi tidak efektif.

     b. Penghambatan Implementasi Kebijakan:**

         Tumpang tindih peraturan dapat memperlambat atau bahkan menghambat implementasi kebijakan yang sudah dirancang dengan baik. Perbedaan interpretasi atau kepentingan antar lembaga dapat mengakibatkan kebijakan tidak dijalankan secara optimal atau malah terhenti di tengah jalan.

      c. Kerusakan Lingkungan yang Tidak Terkendali.

          Ketidakjelasan dalam penegakan peraturan dapat menyebabkan eksploitasi sumber daya laut yang berlebihan dan tidak berkelanjutan. Misalnya, jika peraturan mengenai batas penangkapan ikan atau perlindungan ekosistem tertentu tidak diimplementasikan dengan konsisten, hal ini dapat mengakibatkan degradasi lingkungan yang sulit untuk dipulihkan.

      d. Kesulitan dalam Monitoring dan Evaluasi

          Pengelolaan sumber daya laut yang efektif memerlukan sistem monitoring dan evaluasi yang kuat. Namun, tumpang tindih peraturan sering kali membuat proses ini menjadi lebih kompleks dan sulit untuk dilakukan. Lembaga yang berbeda mungkin menggunakan indikator atau standar yang berbeda untuk menilai keberhasilan pengelolaan, sehingga sulit untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang kondisi sumber daya laut yang sebenarnya.

      e. Konflik Antar Pemangku Kepentingan

          Tumpang tindih peraturan dapat memperburuk konflik antara berbagai pemangku kepentingan, seperti nelayan, industri perikanan, dan komunitas lokal. Ketidakpastian mengenai aturan yang berlaku dapat memicu perselisihan tentang hak akses dan penggunaan sumber daya laut, yang pada akhirnya mengganggu upaya pengelolaan yang adil dan berkelanjutan.

      f. Penurunan Keberlanjutan Sumber Daya Laut

          Dengan adanya peraturan yang tumpang tindih dan tidak terkoordinasi, sulit untuk menerapkan strategi pengelolaan yang holistik dan berkelanjutan. Akibatnya, sumber daya laut Indonesia, yang kaya dan beragam, berisiko mengalami penurunan yang signifikan dalam jangka panjang.

          Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan upaya harmonisasi peraturan dan peningkatan koordinasi antar lembaga yang terlibat dalam pengelolaan sumber daya laut. Ini akan membantu memastikan bahwa kebijakan yang diterapkan lebih efektif dalam menjaga keberlanjutan dan kesejahteraan sumber daya laut Indonesia.

7. Penutup

     Berdasarkan prinsip kepastian hukum, rekomendasi kebijakan akan difokuskan pada bagaimana menciptakan peraturan yang lebih jelas, konsisten, dan tidak ambigu. Pembahasan ini akan mencakup usulan harmonisasi regulasi dan penyederhanaan proses legislasi untuk meningkatkan kepastian hukum.

     Dalam konteks pembangunan, rekomendasi akan dirancang untuk mendukung regulasi yang tidak hanya konsisten tetapi juga mendukung pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan. Pembahasan akan mengevaluasi bagaimana reformasi hukum dapat digunakan sebagai alat untuk mencapai pembangunan sektor perikanan yang lebih inklusif dan berkelanjutan.

     Teori Pengaturan akan memberikan panduan praktis tentang bagaimana regulasi di sektor perikanan dapat diatur ulang atau disederhanakan untuk mengatasi tumpang tindih. Pembahasan ini akan menawarkan strategi konkret untuk meningkatkan efektivitas pengelolaan sumber daya laut melalui peraturan yang lebih harmonis dan terkoordinasi.

     Tumpang tindih peraturan kelautan berdampak negatif terhadap kepastian hukum di Indonesia. Ketidakjelasan aturan, konflik antar-regulasi, serta penegakan hukum yang inkonsisten dan tidak efektif, semuanya berkontribusi pada ketidakpastian hukum. Akibatnya, hal ini dapat menghambat investasi, melemahkan penegakan hukum, dan mengurangi efisiensi pemerintahan dalam mengelola sumber daya laut.

     Untuk mencapai kepastian hukum yang lebih baik, diperlukan harmonisasi dan revisi peraturan perundang-undangan di sektor kelautan untuk memastikan bahwa semua pihak yang terlibat memiliki panduan yang jelas dan terpadu dalam pengelolaan dan perlindungan sumber daya laut di Indonesia.

Daftar Pustaka :

  • Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan
  • Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
  • Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU PWP3K)
  • Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (dan Perubahannya UU No. 45 Tahun 2009)
  • Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2017 tentang Kebijakan Kelautan Indonesia
  • Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
  • Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
  • Radbruch, G. (1973). Legal Philosophy. In K. Wilk (Ed.), Introduction to the Problems of Legal Theory. Oxford University Press. ISBN: 978-0198762841.
  • Kusumaatmadja, M. (2006). Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan. Alumni. ISBN: 978-9794141842.
  • Baldwin, R., Cave, M., & Lodge, M. (2012). Understanding Regulation: Theory, Strategy, and Practice. Oxford University Press. ISBN: 978-0199576096.